Merawat Indonesia: Mengadu Kepada Leluhur
Maaf hari-hari ini mimin sedang sibuk sekali, sampai terlupa untuk menulis di ruang ini. Tapi tenang frenkuuu, hari ini mimin mendapatkan pengalaman baru yang akan coba mimin tuliskan di sini, yhaaa itung itung sebagai 'nyaur utang' setelah berhari-hari ga nulis hehe. Ini merupakan pengalaman spiritual mimin yang berbalut budaya dan kepercayaan, tenang, tidak ada adegan kesurupannya kok, hehe. Yok langsung sajaaaaaaa...
Baru-baru ini, negara kita tercinta, Indonesia sedang 'mendadak' dikejutkan dengan penyebaran informasi mengenai 'peringatan darurat' sebuah video visual dengan latar belakang biru, bergambar garuda, dan menggunakan suara latar sirine bencana, hmmm khas-khas tanda bahaya di masa Orde Baru yah. Isi dari peringatan darurat tersebut adalah peringatan tentang mulai runtuhnya demokrasi di Indonesia dan juga banyak sekali penyelewengan konstitusional yang terjadi. Hal ini merupakan "tanda bahaya" yang memang sepatutnya berkumandang. Sebab, seperti yang sudah kawan-kawan baca di media sosial maupun di media online, pembajakan demokrasi Indonesia sudah benar-benar terang-terangan. Sungguh ironi ketika melihat lembaga-lembaga negara tidak mampu membendung keinginan penguasa yang serakah, benar-benar seperti kehancuran ada di depan mata.
Dengan begitu cepatnya 'peringatan darurat' ini menyebar, sehari kemudian, nyaris serentak di beberapa kota-kota besar di Indonesia banyak mahasiswa, aktivis, buruh, dan seluruh elemen masyarakat melakukan aksi turun ke jalan. Masyarakat Indonesia yang sudah jengah dan muak dengan keadaan, beramai-ramai turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya. Gelombang demo semakin meluas dan hingar. Hingga akhirnya ada satu putusan dari MK yang tidak dapat diganggu gugat mengenai UU Pilkada, yang sebelumnya hendak direvisi oleh DPR. Tentu, ini menjadi hal yang menggembirakan, yha setidaknya satu kabar baik dari ribuan kabar buruk yang menanti. Di depan sana, permasalahan masih terlampau banyak, masih ada nama-nama yang perlu 'nyaur utang' kepada rakyat, seperti Pratikno dan Mulyono.
Kita bergeser sebentar dari 'geger gedhen' nasional ini, namun masih beririsan. Nyaris sama, gaung semangat perjuangan membela rakyat juga dirasakan di Yogyakarta, ribuan rakyat Jogja tumpah ruah memadati jalan Malioboro hingga Titik Nol Km untuk berunjuk rasa. Aksi damai tersebut jelas untuk menjegal dan mengadili penguasa yang membuat rakyat sengsara. Sebut saja Pratikno dan Mulyono, dua nama besar yang pernah berkuliah di UGM. Bahkan Pratikno juga pernah menjadi Rektor UGM. Hal ini menjadi pemicu 'marahnya' warga Jogja, orang yang diharapkan bisa menjadi agen perubahan dan melanjutkan cita-cita reformasi, ternyata hanya menjadi benalu bagi rakyat.
Merespon keadaan yang sudah darurat, Paguyuban Kawruh Kabudayan menggelar aksi yang menurut saya sangat damai dan mendamaikan. Sebuah aksi teatrikal di Makam UGM. Di makam tersebut bersemayam guru besar dan para profesor jebolan UGM yang dimakamkan di tempat tersebut. Satu hal yang menjadi tema dari aksi teatrikal tersebut adalah "mengadu" kepada leluhur. Aksi ini dilakukan untuk mengembalikan fitrah manusia yang harus selaras dengan cita-cita dan harapan baik dari leluhur.
Ketika saya mengikuti aksi ini, yang saya rasakan adalah pengalaman spiritual yang luar biasa. Adem, ayem, dan tentram jiwa saya. Seakan, saya benar-benar mengadu kepada leluhur mengenai kondisi Indonesia saat ini. Di masyarakat Jawa khususnya, kegiatan semacam ini juga dilakukan untuk mengenalkan leluhur bangsa kepada generasi penerus. Selain itu, kegiatan seperti ini juga untuk mengasah ketajaman batin seseorang. Dalam kegiatan ini, setiap laku langkah peserta aksi dipandu oleh narator.
Iringan tembang macapat mengalun pelan mengiringi langkah pelan peserta aksi. Beruntungnya, langit sore itu begitu cerah, menambah kesan romantis. Ya, romantis sekali, sebuah laku hidup untuk kembali merawat ingatan dan menjalin silaturahmi dengan leluhur. Dengan langkah pelan peserta aksi diantar menuju pemulasaraan profesor dan guru besar UGM. Dengan rapalan mantra dari narator menambah khidmat suasana.
Pelajaran yang bisa diambil dari aksi kebudayaan ini adalah setiap langkah hidup kita harus selaras dengan hati nurani. Sebab segala apa yang kita tanam akan kita tuai nantinya. Mengambil satu petikan kalimat yang tadi dilontarkan oleh narator adalah:
"Siapa yang menanam, pasti menuai. Siapa yang menanam angin, pasti menuai badai!" -Jan
Komentar
Posting Komentar