Cakra Manggilingan: Roda Kehidupan Berputar dengan CaraNya




Cakra manggilingan, merupakan sebuah falsafah hidup yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Jawa.  Secara umum, Cakra Manggilingan merupakan simbol pengibaratan dari siklus kehidupan manusia. Mungkin kita pernah atau bahkan sering mendengar istilah yang mengatakan bahwa hidup ini seperti roda yang berputar, kadang berada diatas dan juga kadang dibawah. Kurang lebih seperti itulah gambaran dari Cakra Manggilingan.

Sebuah siklus hidup perputaran masa, baik dalam skala mikro (jagad kecil) maupun skala makro (jagad besar). Skala mikro merupakan apa yang terjadi pada diri kita sendiri (personal), mulai saat berada di alam ruh, dalam kandungan, lahir menjadi bayi, tumbuh dewasa, lalu menua, dan kemudian kembali ke alam ruh lagi. Juga apa yang kita alami pada diri kita, seperti: adakalanya kita merasa senang, juga adakalanya sedih, adakalanya sukses, adakalanya gagal, adakalanya kaya, juga adakalanya miskin, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Sedangkan skala makro adalah dinamika zaman secara umum (universal), yang mana kehidupan ini selalu dinamis (berubah-berputar). Seperti siklus sejarah, dimana apa yang terjadi pada masa lampau, dapat terjadi kembali pada masa sekarang ataupun masa depan yang akan datang.

Ada istilah "Cakra Manggilingan owah gingsir gilir gumanti",  kehidupan ini senantiasa berputar, berubah, berkembang, berganti situasi-dinamis. Manifestasi dari Cakra Manggilingan inilah yang kemudian disebut sebagai wolak-walike zaman (bolak-baliknya zaman atau perputaran zaman). Menurut R. Ng. Ranggawarsita, perputaran zaman itu memiliki tiga kondisi, yaitu Kalatidha, Kalabendhu, dan Kalasuba.

Zaman Kalatidha merupakan zaman egoisme, dimana setiap orang mengejar keinginan mereka sendiri, adil-tidak adil, benar-salah sudah tidak digunakan, perbedaanya tipis. Selanjutnya adalah zaman Kalabendhu, yang merupakan kelanjutan dari zaman Kalatidha, dimana kondisi terlihat stabil namun tidak didasari dengan kesadaran, tidak sadar bahwa ada sesuatu yang salah, tetapi sudah terlanjur dianggap benar karena sudah terbiasa. Di zaman ini, justru orang yang benar kerap dianggap aneh dan kuno ketinggalan zaman, dan sebaliknya, yang mengikuti trend justru yang dianggap benar. Akan tetapi, ada masanya pada zaman ini orang yang tadinya dianggap aneh dan kuno kemudian didengarkan dan dijadikan panutan, sehingga orang-orang baik pun mulai tumbuh dan semakin banyak, barulah setelah itu memasuki zaman Kasuba.

Zaman Kalasuba adalah masa dimana keadaan mulai stabil, adil dan makmur, kestabilannya tidak hanya pada aspek fisik, tetapi juga non-fisik. Di zaman ini juga akan muncul seorang Ratu Adil, seseorang yang asalnya selalu ingat (sadar) dan waspada. Ratu Adil inilah yang kelak akan membimbing kita agar selalu ingat (sadar) dan wasapada, karena jika kesadaran dan kewaspadaan itu hilang, maka akan kembali lagi ke zaman Kalatidha.

Pembelajaran yang dapat diambil dari komsep dan falsafah Jawa mengenai Cakra Manggilingan, bahwa roda kehidupan pasti berputar dan semesta akan menunjukkan caraNya bergerak.  Yang dahulu dipuja-puja, bisa suatu saat dianggap hina. Yang dulu terkenal akan harapannya, bisa jadi suatu saat dibenci karena keputusannya. Mimin teringat akan sebuah lirik lagu, "Dunia ini Panggung Sandiwara". Yhaa, semua memang bergerak, berputar, pada porosnya. Tetap slow Saudara ku, gunakan otak kecil mu dalam bertindak. Dan jangan tinggalkan apa kata hati nurani mu. Jangan terjebak dalam hiruk-pikuk yang justru membuat mu lelah dan ikut dalam sebuah arus besar yang kamu hanya menjadi pasukan yang dipamerkan, kemudian dikorbankan. -Jan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panitia Agustusan: Tokoh Nasionalis Saat Ini, Tapi Masih Sering Disepelekan

Belajar Sabar dari Sosok Pak Suharji, Penjual Es Teh yang Dihina G*bl*k

Saat Pesta Telah Usai: Sebuah Refleksi Kemenangan